Ibadah tathawwu’ (sunnah; yang dianjurkan) merupakan perkara
yang akan menambah pahala, menggugurkan dosa-dosa, memperbanyak
kebaikan, meninggikan derajat, dan menyempurnakan ibadah wajib.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya.” (Qs. al-Baqarah: 184).
Demikian juga, hal itu merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, setelah melakukan kewajiban-kewajiban. Karena, mendekatkan diri
kepada Allah itu dengan cara beribadah kepada-Nya dengan ibadah yang
hukumnya wajib atau mustahab (yang disukai; sunnah). Mendekatkan diri
kepada-Nya bukan dengan ibadah yang bid’ah tanpa bimbingan sunnah atau dengan kebodohan tanpa bimbingan ilmu. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits qudsi sebagai berikut,
“Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, Allah berfirman, ‘Barangsiapa
memusuhi wali-Ku [Wali Allah adalah orang yang beriman dan
bertakwa-pen.], maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan tidaklah
hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
dari apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku selalu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah nafilah (sunnah;
tambahan; yang dianjurkan) sehingga Aku mencintainya.‘” (HR. Bukhari, no. 6502).
Di dalam hadits di atas terdapat dalil, bahwa barangsiapa yang
menghendaki dicintai oleh Allah, maka urusannya mudah baginya, jika
Allah memudahkannya padanya. Yaitu dia melakukan kewajiban-kewajiban dan
melakukan ibadah-ibadah tathawwu‘ (sunnah), dengan sebab itu, dia akan meraih kecintaan Allah dan walayah (perwalian) Allah.” (Al-Fawaid adz-Dzahabiyah Minal Arba’in Nawawiyah, hal. 143).
Kemudian, di antara amalan tathawwu’ yang utama adalah
puasa. Karena, puasa merupakan ibadah yang dapat mengekang nafsu dari
keinginannya. Puasa juga akan mengeluarkan jiwa manusia dari keserupaan
dengan binatang menuju keserupaan dengan malaikat. Karena orang yang
berpuasa meninggalkan perkara yang paling lekat pada dirinya, yang
berupa makanan, minuman, dan berhubungan dengan istrinya, karena mencari
ridha Allah. Sehingga, itu merupakan ibadah dan ketaatan yang merupakan
sifat malaikat. Sebaliknya, jika manusia mengumbar hawa nafsunya, maka
dia lebih mendekati alam binatang.
Keutamaan Puasa Arafah
Di antara puasa tathawwu’ yang paling utama adalah puasa
Arafah. Yang dimaksud dengan puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9
Dzulhijjah. Pada saat itu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji
berkumpul wukuf di padang Arafah.
Sebagian orang mendapatkan masalah ketika mendapati tanggal/kalender
di negaranya berbeda dengan di Arab Saudi. Maksudnya, pada hari ketika
jamaah haji sedang berkumpul di Arafah, yang hari itu adalah tanggal 9
Dzulhijjah di negara Arab Saudi, tetapi kalender di negaranya pada hari
itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, umpamanya. Maka, apakah dia berpuasa
pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut kalender di negaranya sendiri, padahal
di Arab Saudi masih tanggal 8 Dzulhijjah, dan para jamaah haji belum
menuju Arafah. Atau dia berpuasa pada tanggal 10 Dzulhijjah menurut
kalender di negaranya sendiri dan di Arab Saudi sudah tanggal 9
Dzulhijjah, dan para jamaah haji berkumpul di Arafah.
Dalam hal ini yang menjadi ukuran adalah wuquf di Arafah, bukan kalender di negaranya. Karena di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dengan “puasa hari Arafah”, sehingga mestinya wuquf di Arafah itulah yang menjadi ukuran. Wallahu a’lam.
Keistimewaan Hari Arafah
Hari Arafah memang salah satu hari istimewa, karena pada hari itu
Allah membanggakan para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah di
hadapan para malaikat-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada satu hari yang lebih banyak Allah memerdekakan hamba
dari neraka pada hari itu daripada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah
mendekat, kemudian Dia membanggakan mereka (para hamba-Nya yang sedang
berkumpul di Arafah) kepada para malaikat. Dia berfirman, ‘Apa yang
dikehendaki oleh mereka ini?‘” (HR. Muslim, no. 1348; dan lainnya dari ‘Aisyah).
Olah karena itulah, tidak aneh jika kaum muslimin yang tidak wukuf di Arafah disyariatkan berpuasa satu hari Arafah ini dengan janji keutamaan yang sangat besar.
Marilah kita renungkan hadits di bawah ini, yang menjelaskan
keutamaan puasa Arafah, yang disyariatkan oleh Ar-Rahman Yang Memiliki
sifat rahmat yang luas dan disampaikan oleh Nabi pembawa rahmat kepada
seluruh alam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap
kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan
satu tahun setelahnya. Puasa hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram), aku
berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun
sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu Qatadah).
Alangkah pemurahnya Allah Ta’ala. Puasa sehari menghapuskan
dosa dua tahun! Kaum muslimin biasa berpuasa satu bulan penuh pada bulan
Ramadhan, dan mereka sanggup melakukan. Maka, sesungguhnya berpuasa
satu hari Arafah ini merupakan perkara yang mudah, bagi orang yang
dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Barangsiapa membaca atau mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia ini pastilah hatinya tergerak untuk mengamalkan puasa
tersebut. Karena, setiap manusia pasti menyadari bahwa dia tidak dapat
lepas dari dosa.
Dosa Apa yang dihapus?
Apakah dosa-dosa yang dihapuskan itu meliputi semua dosa, dosa kecil
dan dosa besar? Atau hanya dosa kecil saja? Dalam masalah ini para ulama
berselisih.
Sebagian ulama, termasuk Ibnu Hazm rahimahullah, berpendapat sebagaimana zhahir hadits. Bahwa semua dosa terhapuskan, baik dosa besar, atau dosa kecil.
Namun jumhur ulama, termasuk Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Ibnu Rajab,
berpendapat bahwa dosa-dosa yang terhapus dengan amal-amal shalih,
seperti wudhu’, shalat, shadaqah, puasa, dan lainnya, termasuk puasa Arafah ini, hanyalah dosa-dosa kecil.
Pendapat jumhur ini di dukung dengan berbagai alasan, antara lain:
Allah telah memerintahkan tobat, sehingga hukumnya adalah wajib. Jika
dosa-dosa besar terhapus dengan semata-mata amal-amal shalih, berarti
taubat tidak dibutuhkan, maka ini merupakan kebatilan secara ijma’.
Nash-nash dari hadits lain yang men-taqyid (mengikat; mensyaratkan) dijauhinya dosa-dosa besar untuk penghapusan dosa dengan amal shalih.
Dosa-dosa besar tidak terhapus kecuali dengan bertobat darinya atau
hukuman pada dosa tersebut. Baik hukuman itu ditentukan oleh syariat,
yang berupa hudud dan ta’zir atau hukuman dengan takdir Allah, yang berupa musibah, penyakit, dan lainnya.
4- Bahwa di dalam syariat-Nya, Allah tidak menjadikan kaffarah (penebusan dosa) terhadap dosa-dosa besar. Namun, kaffarah itu dijadikan untuk dosa-dosa kecil (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, syarh hadits no. 18, karya al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali).
Puasa Arafah untuk Selain yang Berada di Arafah
Kemudian, bahwa disunnahkannya puasa Arafah ini berlaku bagi kaum muslimin yang tidak wuquf di Arafah. Adapun bagi kaum muslimin yang wuquf di Arafah, maka tidak berpuasa, sebagaimana hadits di bawah ini,
“Dari Ummul Fadhl binti al-Harits, bahwa orang-orang berbantahan
di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya
mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan
semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta
beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari, no. 1988; Muslim, no. 1123).